Solusi Hidup Berkah dengan wakaf

WAKAF; Membangunkan Raksasa Tidur

Berbeda secara pensyareatan dengan zakat yang bersifat wajib, wakaf sifatnya hanya disunnahkan dan dianjurkan saja. Namun, dari sisi potensinya tidaklah berlebihan kalau dibilang bak raksasa yang sedang tidur. Lihatlah, Indonesia dengan jumlah penduduk muslim terbanyak di dunia dengan jumlah 88% sekitar  235 juta, merujuk pada data Departemen Agama (Depag) RI, jumlah tanah wakaf di Indonesia mencapai 2.686.536.656,68 meter persegi atau sekitar 268.653,67 hektar (ha) yang tersebar di 366.595 lokasi di seluruh Indonesia. Jumlah tanah wakaf yang besar ini merupakan harta wakaf terbesar di dunia.

Luas tanah wakaf tersebut setara dengan 4 kali luas negara Singapura atau 6 kali luas pulau Batam. Nilai kapitalisasinya senilai 590 triliun [Zaim Saidi, 2008]. Sayangnya, tanah wakaf tersebut sebagian besar berbentuk masjid, kuburan, panti asuhan, dan sarana pendidikan. Dan hanya sebagian kecil yang dikelola ke arah lebih produktif. Data penelitian Pusat Bahasa dan Budaya (PBB) UIN Syarif Hidayatullah Jakarta tahun 2006 menunjukkan, harta wakaf lebih banyak bersifat diam (77%) daripada yang menghasilkan atau produktif (23%). Berarti, tanah wakaf yang demikian besar itu tentunya belum memberikan manfaat produktif, tapi masih dipergunakan untuk kepentingan yang bersifat konsumtif. Padahal, bila digunakan untuk kepentingan produktif, tentu akan memberikan manfaat yang lebih besar, seperti rumah sakit, pusat bisnis, real estate, pertanian, perkebunan, dan lain-lain.

Hal itu belum termasuk potensi wakaf benda tak bergerak, seperti wakaf uang. Bisa dibayangkan, seandainya 50 juta saja penduduk Indonesia yang mewakafkan hartanya, masing-masing sebesar 1 juta per tahun, maka akan terkumpul dana wakaf sebesar 50 triliun. Jumlah ini tentu tidak sedikit. Andai saja dana sebesar itu dapat dihimpun dan dikelola secara produktif, tentu hasilnya akan bermanfaat bagi kesejahteraan dan pengembangan ekonomi masyarakat. Itulah fakta perwakafan di Indonesia.

Maka menarik mengaitkan wakaf ini sebagaimana zakat, menjadi instrumen untuk meningkatkan kesejahteraan umat (masyarakat). Oleh karena itu, sang raksasa wakaf harus dibangunkan dengan pencermatan beberapa hal, diantaranya:

Pertama, dari sisi aturan perundangan. Lagi-lagi dibanding zakat, wakaf telah memiliki perangkat tata aturan yang lebih mapan. UU No.41 tahun 2004 tentang wakaf telah didukung dengan Peraturan Pemerintah (PP) No.42 tahun 2006 sebagai petunjuk operasionalnya, dan bahkan telah keluar Keputusan Presiden (Keppres) No. 75/M tahun 2007, yang ditetapkan di Jakarta tanggal 13 Juli 2007 tentang pengangkatan kepengurusan Badan Wakaf Indonesia atau BWI, dan sekarang BWI telah membentuk perwakilannya di masing-masing propinsi dan kabupaten kota. (Bandingkan dengan zakat sejak UU No.38 tahun 1999 kemudian amandemen dengan UU No. 23 tahun 2011 sampai sekarang belum keluar PP-nya). Dari sisi ini, seharusnya badan wakaf tinggal jalan ‘easy going’.

Kedua, legalitas tanah wakaf. Banyak diantara aset-aset wakaf yang ada tersebut belum di daftarkan (ikrar wakaf) menjadi aset wakaf. Banyak diantaranya masih berbentuk tanah fasum (fasilitas umum), tanah yayasan, aset keluarga, surat kepemilikan tanah, hibah, petok dan lain-lain yang belum secara legal diakui oleh pemerintah sebagai aset wakaf. Sebagai contoh, banyak masjid diperkotaan yang masih diakui sebagai aset pemda setempat bukan sebagai aset wakaf. Masjid Agung Kota Batam adalah salah satunya. Hal ini tentu berdampak pada aspek pengembangan aset wakaf ke depannya. Bahkan, bila tidak dilakukan penataan dari aspek administrasi legal wakaf akan menimbulkan kontroversi dan bentrok sosial, sebagai contoh ruislag lahan dan penggusuran Masjid Al-Ikhlas, di Jalan Timor Medan, Mei 2011. Masjid dengan luas bangunan 11m X 11m ini awalnya mushalla yang berdiri di atas tanah milik Negara. Kodam I Bukit Barisan yang menguasai tanah tersebut me-ruislag-kannya tahun 2007 ke pihak ketiga yaitu sebuah pengembang. Proses ruislag sudah dimusyawarahkan lama dan uang ganti rugi sebesar 700 juta sudah diberikan pada 2009. Tidak ada bukti arsip akta ikrar wakaf dan sertifikat wakaf atas lahan masjid ini yang resmi tercatat di kantor terkait. Kasus mencuat lagi ketika dan setelah proses eksekusi pembongkaran masjid [Dr. Amelia Fauzia, 2012]. Kedepannya, tentu persoalan seperti ini berharap terjadi lagi.

Ketiga, paradigma atau perspektif wakaf adalah produktifitas. Sebagaimana dijelaskan di pasal 43 ayat (2) UU No.41 bahwa ‘pengelolaan dan pengembangan harta benda wakaf dilakukan secara produktif’. Hal ini sejalan dan sebangun dengan maksud disunnahkannya wakaf ini dimana menurut madzab hanabilah didefinisikan sebagai menahan asal harta (tanah) dan menyedekahkan manfaat yang dihasilkan [Ibnu Qudamah: 6/185]. Karenanya, nazhir (pengelola) wakaf selain harus memiliki kecakapan secara moral (paham fikih wakaf, jujur, sungguh-sunggguh, tahan godaan, cerdas), manajemen (visioner, kapastas dan kapabilitas, profesional, program), juga ‘key point’ yang tidak kalah pentinya adalah berwawasan bisnis, berjiwa entrepreneurs. Jiwa kewirausahaan menjadi penting karena nazhir mengelola aset-aset yang harus diproduktifkan. Disamping nazhir harus berwawasan bisnis, program yang dijalankanpun harus dikembangkan pada pengelolaan usaha-usaha produktif di bidang-bidang sebagai berikut; properti (rumah sewa, apartemen, ruko, kios, dll), pertanian & perkebunan (sawah, kelapa sawit, buah-buahan, sayur-sayuran, dll.), perdagangan (SPBU, mini market, grosir, dll.), industri manufaktur (pabrik sepatu, tekstil, mainan, dst.), usaha & jasa dan lain-lain. Dengan perspektif ini, wajah perwakafan tidak lagi bercitra tradisional hanya terpaku pada pengelolaan tanah kuburan, pesantren, masjid, mushallah yang asal-asalan dan seadanya, namun tampil berubah dengan citra modern dan profesional.

Keempat, edukasi & sosialisasi terus menerus kepada masyarakat. Masyarakat harus dikenalkan secara intens tentang fiqih wakaf dan paradigmanya melalui berbagai saluran media, baik up line maupun bottom line. Bentuk-bentuk program seperti wakaf pohon, wakaf tunai (cash)  bisa menjadi bidikan mengajak masyarakat berwakaf dengan mudah. Intensitas publisitas wakaf harus segencar publisitas soal zakat dan sedekah, sehingga masyarakat familiar dengan idiom-idiom di dalam dunia perwakafan. Memang tidak mudah, selain tidak banyaknya asatidz yang menguasai fiqih perwakafan modern sebagai juru penerang (dakwah), juga minat SDM yang terjun didunia perwakafan masih sangat minim. Hal ini bisa dimaklumi, sekiranya pengelolaan wakaf setidaknya bisa mengiringi perjalanan sebagaimana pengelolaan zakat (terutama oleh swasta) yang akuntable, kredibel, profesional dan berwawasan bisnis, insya’alloh gayung akan bersambut.

 

Tantangan perwakafan hari ini.

Visi BWI adalah “Terwujudnya lembaga independen yang dipercaya masyarakat, mempunyai kemampuan dan integritas untuk mengembangkan perwakafan nasional dan internasional”. Sedangkan misinya yaitu “Menjadikan Badan Wakaf Indonesia sebagai lembaga profesional yang mampu mewujudkan potensi dan manfaat ekonomi harta benda wakaf untuk kepentingan ibadah dan pemberdayaan masyarakat”.

Badan Wakaf sebagai institusi pengelola wakaf yang memiliki jaringan sampai di propinsi dan kabupaten kota, secara undang-undang dan keorganisasian sudah sangat mapan. Pencanangan visi dan misi sebagaimana tersebut diatas, perencanaan (program) yang matang, strategi implementasi serta dukungan pemerintah, instansi terkait seperti perbankan (syariah) juga networking yang skalanya sudah internasional seharusnya cukup membuat Badan Wakaf Indonesia semestinya harus sudah menunjukkan ‘kebangkitannya’.

Dalam catatan sejarah perkembangan dunia Islam, wakaf telah memberikan kontribusi yang luar biasa pada perekonomian maupun kemaslahatan umat. Kalau di Mesir ada Jami’ Al Azhar yang kekayaan wakafnya pernah sepertiga aset negara Mesir sebelum dinasionalisasi oleh Presiden Gamal Abdul Naser. Di Yordania pada tahun 1984 pendapatan dari pengembangan wakaf (produktif) mencapai 1.030.000.000 dinar Yordan, sebuah nilai yang sangat besar. Di Turki, sumber-sumber wakaf untuk pembiayaan joint venture sehingga berdiri Waqf Bank & Finance Corporation. Di Bangladesh, wakaf telah dikelola oleh Social Investment Bank Ltd. Sebuah lembaga wakaf yang didirikan oleh Prof. Dr. M.A. Manan, yang kini telah mengembangkan Pasar Modal Sosial (the voluntary capital market). Di Malaysia ada Johor Corporation, dan di Singapura ada WAREES (Wakaf Real Estate Singapore).

Bagaimana dengan Indonesia? Kita bersyukur perwakafan di Indonesia juga bergeliat. Pesantren Gontor, UII Yogyakarta adalah beberapa yang telah eksis, dan kini banyak bermunculan lembaga-lembaga wakaf seperti Tabung Wakaf Indonesia, SMART Eksellensia dengan sekolah gratisnya, LKC untuk rumah sakit gratis, pun beberapa BMT lahir dari dana wakaf dengan pengembangan disektor micro finance.

BWI dengan perangkat yang ‘mapan’ tentu akan bisa berkiprah lebih besar. Dan, agar wakaf berkontribusi besar untuk kesejahteraan umat di Indonesia, sang raksasa memang harus benar-benar dibangunkan!

Wallahu’alam.

Disadur oleh :
Ir. Moch. Arief – Nazhir Wakaf KSPPS BMT Nurul Islam

Tinggalkan Komentar

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Scroll to Top